Minggu, 26 April 2015

Menulikan Telinga Sendiri

TERKADANG kita mengacuhkan orang yang sangat peduli terhadap kita. Menutup telinga, tak mau mendengarkan nasihatnya. Apalagi mengindahkan perintahnya, berat sekali rasanya. Kita memilih hidup sesuka hati, sebebas mungkin apa yang ingin kita lakukan dalam kehidupan ini.

Kita hanya ingin tertawa lepas, bersenda gurau kalau orang yang sering menasihati kita lupa hobinya itu. Asyik sekali memang mengobrol hangat bersama orang-orang tercinta, tanpa ada sedikitpun bahasa-bahasa berat perihal hakikat hidup. Lupakan itu semua! Hari ini kita hanya ingin berkumpul tanpa syarat apapun, tanpa harus begini ataupun harus begitu.

Hidup ini kan asiknya tak ada peringatan keras, tak ada yang sok bijak menggurui satu sama lainnya. Karena sama saja, toh kehidupan masing-masing, dijalani sendiri-sendiri tanpa campur tangan oranglain, dan risikonya juga dipundak masing-masing. Lantas kenapa orang yang peduli kepada kita selalu ngotot ingin suaranya didengar? Padahal kita sejak dulu menulikan telinga. Ia hanya tersenyum, saat punggung kita membelakanginya.

Dan sekarang kita sudah benar-benar menjadi manusia bebas, andaikan punya sayap, kita pasti sudah mengepakkan sayap membelah angkasa. Karena tak ada lagi yang sibuk mengurusi hidup kita, tak ada lagi yang melulu membicarakan hakikat kehidupan di telinga kita. Lebih rileks rasanya napas ini saat kita tidak berpikir keras lagi. Jalan terus melangkahi duniawi tanpa lampu lalu lintas, kuning, hijau, dan merah.

Tak ada kabar darinya lagi? Kemana orang yang selalu peduli mengurusi hidup kita itu? Sudah lelahkah ia menunggu kita untuk duduk mendengar kalimat-kalimat baiknya? Atau jangan-jangan ia tak peduli lagi. Kita mungkin tak paham, dia yang peduli, walaupun tak dinasihatkannya langsung kepada kita, ada doa yang ia panjatkan kepada TuhanNya untuk kebaikan kita.

Terdengar kabar, bahwa ia pergi menepati janjinya pulang sebagai manusia kepada Sang Pencipta.

Sekarang, tak ada lagi yang peduli? Tak ada nasihat dingin yang menyejukkan dahaga kehidupan yang kering. Kita kembali mencoba menyempurnakan nasihatnya dalam ingatan. Karena dulu, nasihatnya hanya sepenggal yang kita dengar, telinga sengaja ditulikan.

Sebab Aku Tak Sama

Oleh Dhorifah Najib

Tahu, aku tak sama
Aku tahu, aku berbeda dengan kalian
Aku berbeda dengan apa yang kalian sebut paham
Aku berbeda dengan apa yang kalian sebut agama

Tahukah, bagaimana rasa takutku pada kalian?
Dengan senjatamu fisikku terluka
Dengan hujatanmu batinku menjadi pilu

Jika memang aku dinilai hina
Kenapa Tuhan menciptakanku?
Jika memang aku dinilai tak layak
Kenapa Tuhan membiarkan Ibu melahirkanku?
Aku sehina itu?

Kalian bilang “Ini bumi kami”
Lalu aku?
Di mana aku harus bertempat, di mana aku harus tinggal?

Apakah aku masih kalian anggap sebagai manusia?
Apa aku masih kalian anggap sebagai saudara?
Saudara yang butuh teman, saudara yang butuh toleran
Dan saudara yang butuh keberagaman

Inilah aku, sebab aku tak sama
Inilah aku, sebab aku berbeda
Inilah aku sebab aku tak sama