Kamis, 30 April 2015

Menjelang Shubuh

Oleh Zidny Ilma

menjelang subuh 
fajar kidzib menggurat alif di kening langit
kemudian shidik, kuas cahayanya melukis wajah seorang sumringah 
di sepanjang sisian jalan penghujung malam. 

menjelang subuh 
halimun bersimpuh embun 
jatuh terpekur menangkup wujud kamilun 
dari tetes bening yang bergulir di atas daun 
menyiwak pagi, menuntun hati menyusuri ranah hampar sajadah. 

hawa dingin menggigit, menyua geletar syukur di kaki-kaki langit 
di antara pesona yang menyemburat sahaja. 

pagi meluruh, mendekap subuh 
kumandang azan bersahutan memetik sinar bulan 
kemudian linang 
menyinggasana di ceruk-ceruk sukma 
di liuk mata para pengais doa. 

Selasa, 28 April 2015

Pelopor Kebaikan

SEBAGAI seorang Muslim tentu telah menjadi kewajibannya untuk melakukan amar makruf nahi munkar, yakni mengajak pada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar. Sikap seperti inilah yang menjadi nilai plus dari kaum Muslimin. Dan tahukan Anda, bahwa hal ini merupakan sesuatu yang paling istimewa bagi orang yang dapat melakukannya.

Menjadi seorang pelopor kebaikan tentu tidaklah mudah. Kita harus bisa mengubah diri sendiri ke arah yang baik pula. Barulah kita ajak orang lain sesama Muslim untuk melakukan kebaikan. Karena, orang yang mempelopori kebaikan adalah orang yang memiliki kemuliaan di mata Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mencontohkan kebaikan dan diamalkan seoeninggalnya, maka ia mendapatkan pahala dari amal tersebut ditambah seperti pahala orang-orang yang mencontohnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan, barangsiapa mencontohkan keburukan dan diamalkan sepeninggalnya, maka ia mendapatkan dosa dari amal tersebut ditambah seperti dosa orang-orang yang mencontohnya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun,” (Hadis Shahih, lihat shahih al-Jami’, hadis nomor: 6306).

Bagaikan berinvestasi, maka dengan menjadi pelopor kebaikan, maka sepeninggal kita, apabila ada yang mengikuti, tetap pahala kita akan bertambah. Begitu pun apabila menjadi pelopor keburukan, maka pahala (dosa) dari keburukan kita pun akan bertambah. Naudzubillah.

Rasulullah SAW bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya Allah memberi hidayah kepada seorng laki-laki dengan perantara kamu, itu lebih baik bagimu daripada mndapatkan unta merah,” (Hadis Shahih, lihat shahihul Jami’, hadis nomor: 7094).

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memohon ampunan untuk kaum mukminin dan mukminat, maka Allah mencatat untuknya satu kebaikan dari setiap mukmin dan mukminah,” (Hadis Hasan, lihat Shahihul Jami’, Nomor hadis: 6026).

Subahanallah bukan? Ternyata betapa besar kasih sayang Allah kepada orang-orang yang menyaangi dan peduli pula pada saudara seimannya. Oleh sebab itu, jadikan diri kita sebagai pelopor kebaikan. Dengan ters berusaha dan berupaya memperbaiki diri, dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yang akan membuat orang lain tertarik untuk mengikuti langkah kita, hingga ia pun mengubah perilaku buruknya pada kebaikan. Wallahu ‘alam.

Minggu, 26 April 2015

Menulikan Telinga Sendiri

TERKADANG kita mengacuhkan orang yang sangat peduli terhadap kita. Menutup telinga, tak mau mendengarkan nasihatnya. Apalagi mengindahkan perintahnya, berat sekali rasanya. Kita memilih hidup sesuka hati, sebebas mungkin apa yang ingin kita lakukan dalam kehidupan ini.

Kita hanya ingin tertawa lepas, bersenda gurau kalau orang yang sering menasihati kita lupa hobinya itu. Asyik sekali memang mengobrol hangat bersama orang-orang tercinta, tanpa ada sedikitpun bahasa-bahasa berat perihal hakikat hidup. Lupakan itu semua! Hari ini kita hanya ingin berkumpul tanpa syarat apapun, tanpa harus begini ataupun harus begitu.

Hidup ini kan asiknya tak ada peringatan keras, tak ada yang sok bijak menggurui satu sama lainnya. Karena sama saja, toh kehidupan masing-masing, dijalani sendiri-sendiri tanpa campur tangan oranglain, dan risikonya juga dipundak masing-masing. Lantas kenapa orang yang peduli kepada kita selalu ngotot ingin suaranya didengar? Padahal kita sejak dulu menulikan telinga. Ia hanya tersenyum, saat punggung kita membelakanginya.

Dan sekarang kita sudah benar-benar menjadi manusia bebas, andaikan punya sayap, kita pasti sudah mengepakkan sayap membelah angkasa. Karena tak ada lagi yang sibuk mengurusi hidup kita, tak ada lagi yang melulu membicarakan hakikat kehidupan di telinga kita. Lebih rileks rasanya napas ini saat kita tidak berpikir keras lagi. Jalan terus melangkahi duniawi tanpa lampu lalu lintas, kuning, hijau, dan merah.

Tak ada kabar darinya lagi? Kemana orang yang selalu peduli mengurusi hidup kita itu? Sudah lelahkah ia menunggu kita untuk duduk mendengar kalimat-kalimat baiknya? Atau jangan-jangan ia tak peduli lagi. Kita mungkin tak paham, dia yang peduli, walaupun tak dinasihatkannya langsung kepada kita, ada doa yang ia panjatkan kepada TuhanNya untuk kebaikan kita.

Terdengar kabar, bahwa ia pergi menepati janjinya pulang sebagai manusia kepada Sang Pencipta.

Sekarang, tak ada lagi yang peduli? Tak ada nasihat dingin yang menyejukkan dahaga kehidupan yang kering. Kita kembali mencoba menyempurnakan nasihatnya dalam ingatan. Karena dulu, nasihatnya hanya sepenggal yang kita dengar, telinga sengaja ditulikan.

Sebab Aku Tak Sama

Oleh Dhorifah Najib

Tahu, aku tak sama
Aku tahu, aku berbeda dengan kalian
Aku berbeda dengan apa yang kalian sebut paham
Aku berbeda dengan apa yang kalian sebut agama

Tahukah, bagaimana rasa takutku pada kalian?
Dengan senjatamu fisikku terluka
Dengan hujatanmu batinku menjadi pilu

Jika memang aku dinilai hina
Kenapa Tuhan menciptakanku?
Jika memang aku dinilai tak layak
Kenapa Tuhan membiarkan Ibu melahirkanku?
Aku sehina itu?

Kalian bilang “Ini bumi kami”
Lalu aku?
Di mana aku harus bertempat, di mana aku harus tinggal?

Apakah aku masih kalian anggap sebagai manusia?
Apa aku masih kalian anggap sebagai saudara?
Saudara yang butuh teman, saudara yang butuh toleran
Dan saudara yang butuh keberagaman

Inilah aku, sebab aku tak sama
Inilah aku, sebab aku berbeda
Inilah aku sebab aku tak sama

Sabtu, 25 April 2015

Jomblo??

UNTUKMU yang mendapati benih-benih kesedihan di dalam jiwa, karena kesepian yang terus mendera.

Untukmu yang terus berusaha menemukan teman hidupmu, namun Allah menakdirkan menunda pertemuan itu.

Untukmu yang sedang was-was dengan masa depan, kapan saatnya rumah tangga serupa surga itu tiba?

Suatu hari di sebuah kelas seorang guru masuk dengan tersenyum. Padahal saat itu anak-anak murid sedang ribut bukan main. Namun sang guru bisa menenangkan muridnya dengan mudah. Lalu guru itu mengambil secarik kertas kemudian menggambar sebuah titik diatasnya. “Anak-anak coba lihat, apa ini?” tanya guru itu sambil mengangkat secarik kertas tadi. Murid-murid menjawab “Itu titik, bu”. “Bukan anak-anak, ini kertas” pungkasnya.

Nah, pasti kita akan menjawab hal yang sama seperti murid-murid dalam cerita diatas. Ya, karena kita memfokuskan pandangan pada sebuah titik tadi. Padahal masih ada bagian yang berwarna putih dan lebar, namun sama sekali kita tidak meliriknya. Begitulah dengan hidup kita. Katakanlah Anda sedang menanti datangnya sang pangeran atau bidadari yang akan dipinang. Namun, karena tertunda itulah seakan-akan hidup terasa menderita, dunia terasa kejam. Dan kita merasa kitalah yang paling buruk nasibnya.

Coba lihat sisi terangnya. Saat Allah menunda pertemuanmu dengan seorang idaman. Saat itu pula Allah telah memberi beribu nikmat yang tak bisa dihitung. Lihatlah pada sekeliling kita, masih banyak saudara yang menyangi, masih ada teman yang peduli.

Lihat pula prestasi-prestasi yang telah kita raih. Pencapaian apa yang sudah kita lewati. Bukan kah itu merupakan nikmat yang sudah Allah berikan untuk kita? Ternyata hidup kita tidak sekelam yang kita bayangkan. Ingatkah jika kita bersyukur, maka Allah akan tambah nikmat tersebut.

Lagi-lagi dengan rasa syukur semuanya akan terasa indah. Karena saat syukur, bukan titik hitam yang kita pikirkan, tapi lembaran putih yang ada disekitarnya tentunya itu lebih lebar dan luas.

Syaikh ‘Aid Al-Qarni berpesan kepada kita, “Saat seseorang memberi segelas air lemon, kita hanya perlu menambahkan sesendok gula ke dalamnya.” Maka air lemon yang tadinya asam menjadi asam-manis sehingga menyegarkan saat diminum.

Ingat, tidak ada seorang pun yang mendapat musibah selamanya. Allah berfirman dalam surat Al-Insyirah ayat 5, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. Itu merupakan sebuah keniscayaan bahwa tidak ada satu orangpun di dunia ini yang mengalami kesulitan selamanya. Allah akan memberi kemudahan setelah kesulitan itu adalah janji-Nya. Wallohu’alam [Sumber: Halaqah Cinta/Karya: Arif Rahman Lubis/Qultum Media]

Agama Kamu Apa Sih?

Oleh Sri Yulianti(Mahasiswi Upi Purwakarta)


DAHULU saya seorang yang tak mengenal agama Islam. Meski saya orang Islam tetapi saya tidak mengenal apa yang seharusnya saya ketahui tentang islam. Saya sering kali tidak memikirkan apa yang seharusnya saya ketahui. Saya juga dari keluarga yang biyasa sajah tidak begitu mendidik saya untuk urusan berpakaian.

Saya sering kali berpakain apa adanya tidak memikirkan bahwa wanita harus menutupi auratnya. Ketika saya melanjutkan sekolah yang lebih tinggi di universitas, mulailah sedikit demi sedikit saya mengubah penampilan, saya mengubah penampilan karena saya melihat teman yang begitu cantiknya memakai hijab. Saya mulai tertarik seketika itu dan merenung apakah saya bisa seperti itu.
Hari demi hari saya pun mengubah penampilan dengan hijab syar’i. Hari-hari itu saya mulai banyak cobaan, dari mulai dimarahi keluarga, teman-teman SD sering menyebut saya dengat sebutan “Katro”. Bahkan sering kali tetangga menanyakan, “Kamu sebenarnya agamanya apa sih, penampilan yang sangat aneh?”
Ketika itu saya hanya bisa diam terhadap tetangga yang sering bicara seperti itu.
Bahkan pernah kakak yang awalnya diam akan pakaian yang saya pakai, suatu pagi hari melontarkan kata-kata yang membuat hati ini semakin sedih.
Kakak : “Kamu berpakaian seperti itu disuruh siapa dan apa bagusnya kamu menggunakan hijab?”
Saya jawab karena ingin mengubah diri.
Kakak : “Apa pantas ingin mengubah diri, kamu harus berpakaian seperti itu?”
Saya mulai menjawab dengan perlahan untuk meyakinkan kakak. “Saya dengan berpakaian syar’i ini atas dasar keinginan dan saya mulai memahami bahwa dalam agama Islam itu berpakaian seorang wanita haruslah menutup aurat dan tidak boleh menampakkan aurat kita ke lawan jenis.”
Saya berpakaian syar’i penuh dengan cobaan dan halangan. Halangan itu terus menerus datang. Ketika saya sedang bermain dengan teman di daerah saya, saya sering diejek bahkan pakaian dan hijab saya sering ditarik-tarik biar lepas dan biar saya melepaskan hijabnya. Tetapi Saya menghadapi itu dengan senyuman dan dengan sabar. Kemudin kakak yang selalu bicara bahwa saya ikut aliran sesat.
Hingga pada akhirnya saya mulai lelah dengan semua itu. Saya merenung dan mengadu kepada Allah dan meminta yang terbaik untuk jalan hidup yang saya pilih ini. Saya sering mengadu dan menangis karena saya tidak kuat menahan cercaan yang setiap hari pasti datang.
Tetapi saya sudah bertekad sekali pun ada cercaan dan ejekan, saya tetap pada pendirian saya. Walau saya tidak mempunyai uang yang begitu banyak, setiap hari saya menyisihkan uang untuk membeli hijab karena dahulu pakaian saya yang pendek-pendek membuat Saya semakin harus menyisihkan uang untuk membeli pakaian hijab.
Setelah itu datang lagi cobaan yang begitu menyakitkan hati. Tetangga yang menjauhi keluarga saya karena menganggap ada aliran sesat dalam keluarga saya. Saya pun terus dimarahi keluraga dan pernah sempat dijauhi keluarga karena penampilan saya. Saya hanya bisa diam dengan semua ini.
Hari demi hari saya lewati. Suatu hari di daerah saya ada pengajian anak-anak dan ada penceramahnya juga tentu saja. Setelah penceramah bercerita, kemudian penceramah memberi kesempatan para ibu-ibu untuk bertanya. Ada seorang ibu yang bertanya: “Berpakaian seorang wanita itu seperti apa sebenarnya, Ust?”
Ustad menjawab: “Sebenarnya berpakaian seorang wanita itu haruslah menutupi semua kecuali telapak tangan dan muka. Kenapa kita harus berhijab? Untuk menjaga aurat kita.”
Di situlah para warga perlahan mulai memahami dan mulai mengerti. Hari pun terus berganti. Pada waktu saya berpapasan dengan tetangga, ia tersenyum pada saya dan saya pun tersenyum balik.
Sekarang ini alhamdulillah keadaan mulai membaik. Bahkan ibu pun sudah mengenakan hijab meski terkadang dibuka sesaat.